Ketika itu aku berusaha mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hingga
aku pun senantiasa beribadah dan berdzikir di masjid, hari demi harinya
hidup ku dedikasikan agar senantiasa ibadah dan ibadah tanpa mendalami
ilmu, adapun ilmu hanya sebatas pelajaran yang aku dapatkan ketika waktu
belajar tiba sedangkan selebihnya aku lebih banyak berdiam diri di
masjid dengan melakukan berbagai ibadah baik shalat fardhu maupun
sunnah, dzikir, shalawat, baca al-Qur’an dan lain-lain.
Seiring berlangsungnya masa rajinnya ibadahku itu, aku pun mulai melihat orang-orang di sekitarku itu mengecil (baca: tdk lbh baik dariku), setiap kali orang lain menegurku aku pun tersenyum seraya hatiku bergumam, “aku ini orang paling alim di sini dan paling baik ibadahnya.” Pada saat itu Aku merasa dunia dan seisinya ini kecil sekali bagiku dan akulah yang besar karena aku merasa aku telah banyak melakukan berbagai macam ibadah yg disyariatkan Allah ta’ala dan akulah hamba Allah yang paling dekat dengannya. Adapun santri-santri lain aku merasa bahwa mereka beribadah karena adanya tuntutan & aturan pesantren sehingga ibadah mereka tak sebanyak dan serajin diriku maka wajarlah kalau aku lebih besar dan lebih baik daripada mereka.
Hal itu pun berlangsung cukup lama hingga masa futur pun tiba dan terhentilah keistiqamahanku saat itu, dan pada saat itu pula aku sama sekali tidak merasa keadaanku itu sedang terjangkiti penyakit hati karena dalam pikiranku “aku ini orang yg paling rajin ibadah.”
Lalu seiring bertambahnya ilmu, bertambahnya wawasan, dan di saat aku flashback (mengingat akan hal itu) ternyata keadaanku saat di ma’had dulu itu adalah keadaan yang paling berbahaya & paling mengerikan yang mana Iblis saja dikeluarkan dari surga karena kondisi tersebut yaitu: “SOMBONG” (Al-Kibru)
Tahukah kalian di mana letak kesalahanku saat itu ?
Letaknya adalah “aku merasa dirikulah yang paling dekat dengan Allah dan paling baik karena ketaatan dan ibadahku itu” dan inilah hakikat kesombongan yang sebenarnya yaitu meremehkan manusia.
Aku memang tidak menolak kebenaran karenanya Syaithon saat itu menjadikan diriku agar merasa bahwa akulah hamba Allah yang paling baik dan yang lainnya di bawahku dan perbuatan ini secara tidak langsung telah meremehkan banyak manusia.
Seiring berlangsungnya masa rajinnya ibadahku itu, aku pun mulai melihat orang-orang di sekitarku itu mengecil (baca: tdk lbh baik dariku), setiap kali orang lain menegurku aku pun tersenyum seraya hatiku bergumam, “aku ini orang paling alim di sini dan paling baik ibadahnya.” Pada saat itu Aku merasa dunia dan seisinya ini kecil sekali bagiku dan akulah yang besar karena aku merasa aku telah banyak melakukan berbagai macam ibadah yg disyariatkan Allah ta’ala dan akulah hamba Allah yang paling dekat dengannya. Adapun santri-santri lain aku merasa bahwa mereka beribadah karena adanya tuntutan & aturan pesantren sehingga ibadah mereka tak sebanyak dan serajin diriku maka wajarlah kalau aku lebih besar dan lebih baik daripada mereka.
Hal itu pun berlangsung cukup lama hingga masa futur pun tiba dan terhentilah keistiqamahanku saat itu, dan pada saat itu pula aku sama sekali tidak merasa keadaanku itu sedang terjangkiti penyakit hati karena dalam pikiranku “aku ini orang yg paling rajin ibadah.”
Lalu seiring bertambahnya ilmu, bertambahnya wawasan, dan di saat aku flashback (mengingat akan hal itu) ternyata keadaanku saat di ma’had dulu itu adalah keadaan yang paling berbahaya & paling mengerikan yang mana Iblis saja dikeluarkan dari surga karena kondisi tersebut yaitu: “SOMBONG” (Al-Kibru)
Tahukah kalian di mana letak kesalahanku saat itu ?
Letaknya adalah “aku merasa dirikulah yang paling dekat dengan Allah dan paling baik karena ketaatan dan ibadahku itu” dan inilah hakikat kesombongan yang sebenarnya yaitu meremehkan manusia.
Aku memang tidak menolak kebenaran karenanya Syaithon saat itu menjadikan diriku agar merasa bahwa akulah hamba Allah yang paling baik dan yang lainnya di bawahku dan perbuatan ini secara tidak langsung telah meremehkan banyak manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar