Selasa, 18 Februari 2014

Sombong Ibadah dan Kesholihan

Mantan santri bisa saja jadi kiyai, ulama’, tokoh panutan masyarakat atau figur lainnya yang bermanfaat.
Namun mantan santri bisa saja jadi pencuri, perampok, koruptor atau pembunuh berdarah dingin.
Mantan pencuri bisa saja saat ini menjadi perampok besar, koruptor ulung atau pembunuh bayaran.
Namun bisa saja mantan pencuri saat ini menjadi santri, ulama’, tokoh masayarakat atau figur bagus lainnya.
Apapun status anda saat ini, yang penting adalah anda istiqomah dalam kebaikan hingga akhir hayat, dan menyesali atau membenahi kesalahan.
Ibadah dan amal kebaikan bukan hAnya untuk sehari atau dua hari. ibadah dan amal kebajikan untuk sepanjang hayat masih dikandung badan.
“Dan beribadahlah engkau kepada Tuhan-mu hingga datang kepadamu satu kepastian ( yaitu al maut) ( al hijer 99)
Maka janganlah anda congkak atau sombong dengan ibadah dan kesholihan anda saat ini, karena jalan di depan anda masih panjang. Siapakah yang menjamin bahwa anda akan husnul khatimah.
Siapakah yang menjamin bahwa anda akan kuasa istiqomah terus baik, sebaik para santri dan tidak berubah menjadi pencuri? Mengapa ada kesombongan?
Sebagaimana, sadarilah bahwa tidak ada manusia yang tidak berbuat Salah.

Salah satu hal yang dapat menghalangi diterimanya ibadah seorang hamba adalah kurangnya tawadhu dan timbulnya rasa bangga atau sombong atas ibadah/kebaikan yang telah diperbuatnya. Hal itu menunjukkan kurangnya keikhlasan dalam beramal.

Allah SWT telah mengingatkan dalam firman-Nya, “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS al-Bayyinah [98]: 5).

Modal beribadah yang ikhlas adalah takwa kepada Allah SWT. Ketakwaan yang dapat mendorong seorang hamba menetapkan tujuan ibadah yang lurus dan benar (mendapat ridha Allah, bukan ridha manusia lain), dan mengarahkan agar melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntutan-Nya (bukan sesuai dengan keinginan pribadi atau keinginan orang lain).

Ali bin Abi Thalib RA mengingatkan berkenaan dengan masalah ini, “Hendaklah kamu lebih memperhatikan tentang bagaimana amalan itu diterima daripada banyak beramal. Karena sesungguhnya, sedikit amalan yang disertai takwa justru lebih baik. Bagaimanakah amalan itu hendak diterima tanpa ketakwaan?”

Kebanggaan dan kesombongan dalam beribadah tidak akan lahir dari ketakwaan kepada Allah SWT. Sebaliknya, ia lahir dari jiwa yang tamak dan rakus terhadap penghargaan dari sesama manusia. Kebanggaan timbul karena ia merasa telah mampu melakukan ibadah/kebaikan yang belum tentu dapat dilaksanakan orang lain.

Kesombongan lahir dari perasaan dirinya lebih baik dari orang lain yang dianggapnya lebih sedikit amalnya atau bahkan orang lain yang dianggap berdosa.

Ibnu Athaillah lagi-lagi mengingatkan, “Perbuatan dosa yang melahirkan perasaan hina dan rendah hati lebih baik dari ketaatan yang melahirkan ujub dan sombong.

Sungguh tragis kenyataan yang harus dihadapi di yaumil hisab (Hari Perhitungan) kelak bagi orang yang tidak tawadhu dalam beribadah disebabkan kebanggaan diri dan kesombongannya.

jika seseorang melakukan beberapa amal ibadah dan taqarrub kepada Allah akan merasakan hatinya tentram, jiwanya tenang, menerima serta qana’ah dengan pemberian Allah Ta’ala. Kadang-kadang timbul  perasaan dalam diri perasaan sudah memberikan  hak-hak Allah. Perasaan ini adalah potensi penyebab timbulnyan rasa  kekaguman dan bangga dengan prestasi ibadahnya. Merasa puas  dengan ketaatan yang telah dilakukan adalah di antara tanda kegelapan hati dan kejahilan.

Kekaguman pada prestasi ibadah akan melahirkan  kepuasan, kebanggaan, dan akhlak buruk kepada Allah Ta’ala.  Selanjutnya akan berkembang perasaan amalnya diterima . Mereka tidak tahu betapa besar dosa dan maksiatnya, juga mereka tidak tahu apakah amalnya bernilai keikhlasan atau tidak. Oleh karena itu, mereka dianjurkan untuk meminta rahmat Allah dan selalu mengucapkan istighfar karena Allah Mahapengumpun dan Mahapenyayang.

Imam al-Ghazali dalam Ihya` Ulumuddin menjelaskan bahwa salah satu  yang dapat mendorong seseorang terjangkiti kesombongan adalah karena amal dan ibadah . Merasa amal yg telah mencukupi, lebih besar , lebih berbobot dst, maka hatinya menjadi keras (angkuh). Akhirnya  menganggap orang lain tidak bisa beramal  sebaik seperti yang ia lakukan.

Sungguh Rasulullah saw.  Pernah  bersabda:

بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang dilabeli buruk ketika ia merendahkan saudaranya yang muslim”. (H.R. Muslim).

disaat ia melihat orang lain beramal dan beribadah, ia merasa amal dan ibadahnya lebih baik daripada orang tersebut. Kita harus hati-hati dari perasaan seperti ini. Ini adalah  bisikan setan agar amal dan ibadah kita menjadi rusak.  Bukankah tadinya iblis adalah penghuni surga, ibadahnya paling banyak,di antara banyak malaikat lainnya,kemakrifatanya kepada Allah SWT tidak di ragukan lagi,akan tetapi karena ia merasa lebih mulia dari  Adam as , sehingga ia enggan  melaksanakan  perintah Allah untuk sujud menghormat kepada Adam as , saat itulah ia berubah menjadi mahluk yang paling terlaknat.

Saudaraku, jangan lah merasa bahwa masuk syurga itu karena prestasi amalan kita. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا

"Sungguh amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga."

Mereka bertanya, "tidak pula engkau ya Rasulallah?"

Beliau menjawab, "Tidak pula saya. Hanya saja Allah meliputiku dengan karunia dan rahmat-Nya. Karenanya berlakulah benar (beramal sesuai dengan sunnah) dan berlakulah sedang (tidak berlebihan dalam ibadah dan tidak kendor atau lemah)." (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik al-Bukhari)

Sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan rahmat Allah. Dan di antara rahmat-Nya adalah Dia memberikan taufiq untuk beramal dan hidayah untuk taat kepada-Nya. Karenanya, dia wajib bersyukur kepada Allah dan merendah diri kepada Allah. Seorang hamba tidak pantas membanggakan amal ibadahnya yang seolah-olah bisa terlaksana karena pilihan dan usahanya semata, apalagi ada perasaan telah memberikan kebaikan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan amal ibadah hamba-hamba-Nya. Dia Mahakaya, tidak butuh kepada makhluk-Nya.

Disisi lain , Rasulullah bersabda, yang artinya ,” tidak masuk surga orang yang didalam hatinya masih terdapat kesombongan (walaupun) sebiji atom”, (Hr Muslim).

Sungguh iblis memiliki  andalan  untuk menjerat hamba ahli ibadah, yaitu senjata riya’ dan senjata ujub. Dan celakalah  orang yang terjerat senjata ini, satu senjata atau dua sekaligus , dalam keadaan riya’ sehingga amalannya akan rusak, dan pada waktu yang sama iapun ujub dan ta’jub dengan amalan shalihnya akan rusak. Ada  yang selamat dari senjata riya’ akan tetapi jatuh terkena tembakan senjata ujub, sehingga gugurlah pula amalannya.
Beliau Rasulullah bersabda
لَوْ لَمْ تَكُوْنُوا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ
“Jika kalian tidak berdosa, maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yg lebih besar darinya (yaitu) ujub! ujub!” (HR Al-Baihaqi, Syu’abul Iman no 6868, hadits ini dinyatakan oleh Al-Munaawi bahwasanya isnadnya jayyid (baik) dalam at-Taisiir, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no 5303)

Al-Munaawi dalam At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir berkata: “Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengulangi-ngulanginya (*ujub!, ujub!) sebagai tambahan (penekanan) untuk menjauhkan (*umatnya) dan sikap berlebih-lebihan dalam mengingatkan (*umatnya).
Hal ini dikarenakan pelaku maksiat mengakui kekurangannya maka masih diharapkan ia akan bertaubat, adapun orang yang ujub maka ia terpedaya dengan amalannya, maka jauh/sulit baginya untuk bertaubat”

Seseorang pernah bertanya kepada  Aisyah ra,’  (Kapan seseorang dikatakan buruk)?’
maka beliau berkata, ‘pada saat ia menyangka bahwa ia adalah orang baik’ (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir 2/606)

Ibnu Mas’ud ra berkata  bahwa , ‘Kebinasaan pada dua perkara, putus asa dan ujub’

Al-Munaawi dalam At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir 2/606 , berkata bahwa, ‘Ibnu Mas’uud mengumpulkan dua perkara ini karena orang yg putus asa tidak akan mencari kebahagiaan karena dia sudah putus asa, dan demikian juga orang yg ujub tidak akan mencari-cari kebahagiaan karena dia menyangka bahwa ia telah meraihnya’


Ibnul Mubarok ra berkata:
وَلاَ أَعْلَمُ فِي الْمُصَلِّيْنَ شَيْئًا شَرٌّ مِنَ الْعُجْبِ
Aku tidak mengetahui pada orang-orang yang sholat perkara yang lebih buruk daripada ujub (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sy’abul Iman no 8260).

Ketika ada seseorang melihat kepada Bisyr Al-Haafi yang dalam keadaan lama dan indah ibadahnya. Maka Bisyr berkata kepadanya :’ Janganlah engkau terpedaya dengan apa yang kau lihat dariku, sesungguhnya Iblis beribadah kepada Allah ribuan tahun kemudian dia menjadi kafir kepada Allah” (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir 2/606)

Rendah hati (tawadhu’) diukur dari kedalaman jiwa yang memancarkan perilaku. Tingkah laku rendah hati , memang tidak mudah diraih , walaupun oleh ahli ibadah sekalipun. Seringkali sifat rendah hati justru dimiliki oleh orang-orang biasa menurut pandangan orang banyak atau orang yang merasa pernah melakukan dosa atau kesalahan sehingga ia menyesalinya.

Seorang ahli ibadah berkata, bahwa “Kemaksiatan yang menimbulkan rasa rendah diri dan harapan (akan rahmat dan belas kasih Allah), lebih baik daripada taat yang membangkitkan rasa mulia diri dan keangkuhan”.

Rasa rendah diri hamba yang terlibat dalam perbuatan maksiat, lebih baik daripada angkuhnya hamba yang berbuat taat. Seorang hamba yang taat beribadah, akan tetapi tumbuh rasa angkuh dan riya’ dalam hatinya, maka kemungkinan Allah Ta’ala akan meremehkan amal ibadahnya itu. Ada juga hamba yang sering terlibat perbuatan dosa, yang sangat menyedihkan hatinya, Allah Lemberi hidayah kepadanya, lalu tumbuh penyesalannya dan rasa khasiyah kepada Allah, ia telah berjalan menuju keselamatan.

Sering  kita alami  , disaat semangat ketaatan meningkat, godaan akan rasa bangga diri (kesombongan) mulai bermunculan. Ketaatan yang tidak diiringi dengan keterjagaan hati menjadikan kita mudah jatuh dlm kesombongan, karena merasa lebih hebat dengan ketaatan yang kita miliki. Merasa super taat (thughyan at-tha’ah) , lalu mudah meremehkan perbuatan baik orang lain yang menurutnya lebih rendah kualitas ibadahnya. Memandang rendah perbuatan orang lain dan merasa amaliyah diri sendiri lebih baik , adalah bencana yang mengerikan.

Sikap tinggi hati meskipun masih samar dan tersembunyi akan menjerumuskan pelaku-nya kedalam ujub (tindakan mengagumi diri), meremehkan orang lain serta menutup jiwa untuk mengetahui kekurangan diri sendiri dengan lebih teliti. Dan musibah yang menanti adalah orang ini menjadi tidak banyak bahkan lalai meminta ampunan kepada Allah dan memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

Saudaraku, sikap rendah hati banyak dicontohkan Rasulullah, sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Wahai manusia bertaubatlah kepada Allah dan mintalah ampunan-Nya. Dan aku bertaubat kepada Allah sehari 100 kali “. (Hr Muslim).

Diriwayatkan pada masa lampau ada seorang ahli ibadah istiqomah bertaqarrub kepada Allah, membuat ia selalu mendapat perlindungan-Nya. Kemana saja pergi ia selalu ditutupi oleh awan hingga badannya tidak terkena panas matahari.

Pada suatu hari ketika ahli ibadah ini sedang dalam  suatu perjalanan, seorang pelacur melihatnya, lalu dalam hati pelacur ini tumbuh perasaan halusnya. Ia mendekati hamba Allah yang taat ini, dengan harapan ia mendapatkan rahmat Allah.

Ketika pelacur ini mendekat kepadanya, maka  ahli ibadah ini merasa  jijik, dan mengusir pelacur itu dengan kata-kata yang menyakitkan.



Nabi Muhammad saw menerima wahyu dari Allah swt tentang peristiwa ini, menyebutkan  bhw Allah swt telah mengampuni dosa pelacur tersebut dan membatalkan amal ibadah si ahli ibadah itu.

Peristiwa ini telah mernberi pengajaran kepada kita,  janganlah mereka mencampurkan kemurnian ibadah kepada Allah dengan perasaan atau tindakan yang berakibat musnahnya amal ibadat mereka sendiri. Perbuatan seperti riya’, bangga, meremehkan sesama , menyakiti  sesama , karena merasa dekat dengan Allah, adalah perbuatan yang bisa merusak amal ibadah kita sendiri. (Al Hikam, Ibnu Athailah as Sakandari)

Aisyah ra pernah berkata, ‘ sungguh kalian melupakan ibadah yang paling utama, yaitu rendah hati’. Sedangkan pengertian tawadhu menurut Hamdun Al-Qashar adalah merasa bahwa tidak ada seorang pun yang membutuhkan kita, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia.Ada yang menyatakan bahwa tawadhu’ adalah bahwa kita tidak melihat diri kita berharga. Barang siapa melihat dirinya berharga, maka ia tidak dianggap memiliki tawadhu ‘ sedikitpun.

Ibnul Qayyim menyatakan, bahwa amaliyah tidak diukur dari tinggi rendahnya kualitas oleh bentuk dan jumlahnya, tetapi hanya diukur dengan apa yang ada didalam hati. Bisa jadi bentuk amalannya sama tetapi kulitas dihadapan Allah bagaikan jarak langit dan bumi. Kualitas batin suatu amaliyah sangat menentukan nilai amalan itu sendiri, walaupun ini bukan berarti tata cara (kaifiyah) beramal dan beribadah diabaikan.
Dan ibadah dan perbuatan baik , tidak hanya sebatas gerak fisik, namun substansinya terletak pada kualitas hati. Gerak hati yang abstrak dan samar perlu mendapatkan perhatian untuk menghindari perhatian hanya pada aspek fisik saja.

Lalu apa saja tanda-tanda kalau kita telah terjangkiti ujub
Al-Munaawi As-Syafii dalam (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami’ as-Shoghiir , menyebutkan bahwasanya diantara tanda-tanda orang yang ujub adalah:
·         ia merasa heran jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah (padahala ia merasa bahwa ketakwaannya dan amalannya bisa menjadikan  doanya dikabulkan oleh Allah,). Hal seperti inilah  menunjukkan ia mulai ujubn dengan amalan shalihnya. Karenanya tatkala merasa doanya tidak dikabulkan maka iapun heran.
·         ia merasa heran jika orang yang menyakitinya dalam keadaan istiqomah
·         Jika orang yang mengganggunya ditimpa dengan musibah maka dia merasa bahwa itu merupakan karomahnya, lalu ia berkata, “Tidakkah kalian melihat apa yang telah Allah timpakan kepadanya”, atau ia berkata, “Kalian akan melihat apa yang akan Allah timpakan kepadanya.

Lalu bagaimana menghindari rasa berbangga diri ini, Imam Ibnu 'Athoillah menyatakan bahwa ada dua golongan yang bisa terhindar dari sifat ini
1.     orang-orang yang berjalan di jalan Allah, dimana mereka tidak memandang amal ibadahnya dan mengandalkannya. Mereka, saat perjalanannya dalam membersihkan jiwa, merasa belum maksimal dalam beribadah, serta yakin bahwa amal ibadah dan ketaatan mereka tidak akan selamat dari cipratan penyakit-penyakit hati. Merasa bahwa amal ibadah mereka tidak pantas untuk dipersembahkan kepada Allah dan mengharapkan pahala.
2.    Orang-orang  al-washil ilallah (yang telah sampai kepada Allah). bahwa mereka tidak memperhatikan amalan-amalan yang telah mereka kerjakan, tidak membanggakan diri dengan ibadahnya, dikarenakan pikiran dan jiwa mereka telah tenggelam dalam kekhusyukan beribadah. Mereka tidak sempat memikirkan dan memperhatikan keadaan (haliyah) diri mereka. Perlu diketahui, bahwa tak seorang pun dari hamba-hamba Allah yang saleh yang mengetahui bahwa diri mereka itu termasuk golongan al-washil ilallah. Karena memang keadaan manusia itu, setiap bertambahnya kedekatan dan ma'rifat terhadap Allah, bertambah pula kecurigaannya terhadap diri dan nafsunya dan semakin terbukalah semua kekurangan dan kelalaiannya. Jika halnya demikian, bagaimana mungkin mereka para hamba Allah yang saleh dapat merasa bahwa dirinya termasuk golongan ini.

Saudaraku , Perasaan ujub  menjangkiti  pada saat :
1.    Orang yang rajin ibadah merasa kagum dengan ibadahnya.
2.    Orang yang berilmu, kagum dengan ilmunya.
3.    Orang yang cantik, kagum dengan kecantikannya.
4.    Orang yang dermawan, kagum dengan kebaikannya.
5.    Orang yang berdakwah, kagum dengan dakwahnya.

Sufyan at-Tsauri mengatakan ujub adalah perasaaan kagum pada dirimu sendiri sehingga merasa bahwa lebih mulia dan lebih tinggi darajat.
Muthrif rahimahullah berkata, “Kalau aku tidur tanpa tahajud dan bangun dalam keadaan menyesal, adalah lebih baik dari aku bertahajud tetapi berasa kagum dengan amalan tahajudku.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata,”ketahuilah bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit ujub. Sesiapa ujub dengan amalnya sendiri maka akan terhapus amalnya". (Syarh Arba’in)

 Wallahu a’lam. 

2 komentar:

  1. Mantab...mudah2an bermanfaat buat saya dan orang lain...

    BalasHapus
  2. Mantab...mudah2an bermanfaat buat saya dan orang lain...

    BalasHapus